(0362)21985
setda@bulelengkab.go.id
Sekretariat Daerah

Karbon Aktif Kulit Singkong sebagai Filter Air

Admin setda | 17 Juli 2013 | 6284 kali

Dengan pori-pori banyak dan besar, karbon aktif kulit singkong sangat potensial mengenyahkan bau dan warna air yang keruh.

Dua siswa SMA Semesta Semarang, Jawa Tengah, berhasil menyulap kulit singkong menjadi karbon aktif. Setelah diuji laboratorium, karbon aktif dari kulit singkong ternyata mampu menyerap 99,98 persen kandungan tembaga air limbah.

Biasanya karbon aktif, atau yang biasa disebut arang aktif, dibuat dari tempurung kelapa yang dibakar. Secara umum, masyarakat sudah mengerti benar bahwa untuk mendapatkan arang aktif ini, maka tempurung kelapalah yang mereka perlukan.

Namun ternyata tempurung kelapa bukanlah satu-satunya penghasil karbon aktif. Ada bahan lain yang bisa menghasilkan produk yang sama, kulit singkong.

Adalah Deby Jannati, 16 tahun, dan Shona Mazia, 17 tahun. Keduanya merupakan siswa SMA Semesta Semarang, Jawa Tengah, yang sering memperhatikan petugas kebersihan sekolah menggunakan karbon aktif untuk menjernihkan air di kamar mandi sekolah mereka. Keduanya bertanya-tanya, apakah karbon aktif itu? Dan dari apa bahan itu dibuat?

Pertanyaan mereka tidak berhenti begitu saja. Mereka mencari informasi seputar karbon aktif dari tulisan-tulisan yang pernah ada.

Salah satu tulisan yang mereka baca adalah hasil penelitian teman sekolah mereka yang menyimpulkan bahwa kulit singkong mengandung 59,31 persen karbon.

Pakar kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Heri Haerudin mengatakan hampir semua makhluk hidup, termasuk hewan dan tumbuhan, mengandung karbon.

Sebut saja tulang manusia, tulang sapi, pelepah daun pisang, kulit singkong, hingga tempurung kelapa.

Bentuk karbon aktif bisanya berupa butiran kristal dan tepung (powder) yang memiliki pori-pori. Fungsi pori-pori itu menyerap zat magnetik serta menjernihkan air dari warna keruh serta menghilangkan bau tak sedap. Maka tidak heran jika karbon aktif juga digunakan sebagai filter dalam pengolahan air minum.

Jika diperiksa di bawah mikroskop, pori-pori pada karbon aktif terlihat banyak dan besar. Pori-pori ini memunyai ukuran yang bermacam-macam. Ada yang berukuran lebih dari 50 nanometer (nm) yang disebut dengan macropores, ada yang berukuran 2–50 nm (mesopores), dan ada juga yang berukuran di bawah 2 nm (micropores).

Warna karbon aktif seperti arang, hitam. Luas permukaannya sekitar 2 x 104 sentimeter persegi per gram (cm2 per gram), tetapi sesudah melakukan tahapan proses aktivasi luasnya menjadi sekitar 5 x 106 sampai 1,5 x 107 sentimeter persegi cm2 per gram.

Proses Karbon Aktif

Untuk mendapatkan karbon aktif dari kulit singkong, Deby dan Shona melakukan empat tahapan. Langkah pertama, mengupas kulit singkong dari dagingnya. Setelah itu dikeringkan dengan durasi yang bervariasi, bergantung kondisi cuaca dan suhu ruangan.

Setelah kulit singkong kering, tahapan selanjutnya adalah membakar bahan baku di dalam oven agar menghilangkan senyawa hidrokarbon pada bahan baku. Temperatur yang digunakan harus tinggi. Maka peneliti muda itu membakar kulit singkong pada suhu 800 derajat celsius. Dan proses pembakarannya berlangsung selama tiga jam.

Agar proses pembakaran sempurna, selain suhu temperaturnya diatur pada suhu sangat tinggi, Deby dan Shona membakar kulit singkong pada ruang tertutup supaya tak ada udara atau oksigen (O2) di dalam oven. Tujuannya supaya bahan baku kering secara total dan menguapkan senyawa hidrokarbon dalam bahan baku.

Menurut Heri, proses pembakaran kulit singkong memang harus dilakukan di ruang tertutup. Tujuannya untuk meminimalisasi kandungan oksigen saat terjadinya proses pembakaran. “Kalau ada kandungan oksigen, arangnya akan habis terbakar menjadi debu,” kata Heri.

Sebagai ilustrasi, ia menjelaskan, kayu yang dibakar di lapangan terbuka, misalnya dalam acara api unggun, akan habis termakan api menjadi abu. Itulah mengapa proses pembakaran karbon aktif harus dilakukan di ruang tertutup, supaya arang tak menjadi abu.
Seusai pembakaran, maka wujud kulit singkong akan berubah menjadi arang.

Selanjutnya, arang yang berasal dari kulit singkong tersebut dihaluskan. Setelah itu, Deby dan Shona melakukan proses aktifasi karbon dengan menggunakan larutan sodium hydroxide (NaOH) alias soda kimia.

“Penggunaan soda kimia dalam proses karbon aktif adalah hal yang biasa dilakukan, gunanya untuk mengaktifkan arang menjadi karbon aktif,” papar Heri.

Seusai melewati tahapan aktivasi karbon, Debby dan Shona menguji karbon aktif dengan metode atomic absorption spectrophotometer (AAS). Spektrofotometri serapan atom, demikian nama lain dari AAS itu, merupakan salah satu metode analisis yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat konsentrasi logam dan semilogam.

Proses aktivasi ini bertujuan untuk meningkatkan volume dan memperbesar diameter pori-pori karbon. “Dengan demikian, daya absorpsi (serap) karbon aktif menjadi tinggi terhadap zat warna dan bau pada air,” ulas Heri.

Pada umumnya karbon aktif dapat diaktivasi dengan dua cara, yaitu dengan cara aktivasi kimia dan aktivasi fisika. Dalam proses aktivasi kimia, arang hasil karbonisasi direndam dalam larutan kimia selama 24 jam lalu ditiriskan dan dipanaskan pada suhu 600 hingga 9.000 derajat celcius selama 1- 2 jam.

Bahan-bahan kimia yang digunakan sebagai aktivator biasanya hidroksida logam alkali garam-garam karbonat, klorida, sulfat, dan fosfat dari logam alkali tanah. Pada proses kimia, kualitas karbon aktif yang dihasilkan tergantung dari bahan kimia yang digunakan.

Sedangakan aktivasi fisika, yaitu proses aktivasi karbon dengan uap air dialirkan pada arang hasil karbonisasi. Proses ini biasanya menggunakan temperatur 800 ribu – 11 ribu derajat celcius.

Agar penelitan kulit singkong mereka sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah, maka Deby dan Shona menguji karbon aktif kreasinya dalam laboratorium. Dalam uji laboratorium, mereka menguji 20 mililiter limbah sintetis yang mengandung tembaga dengan dua gram karbon aktif kulit singkong hasil karya mereka. Setelah diuji selama 40 menit, karbon aktif dari kulit singkong itu ternyata mampu menyerap 99,98 persen kandungan tembaga (Cu) pada air limbah.