Setelah sempat menjadi daerah zona merah penyebaran COVID-19, Kabupaten Buleleng, Bali kini masuk sebagai daerah zona oranye.
Zona terbaru tersebut dapat dilihat dari rilis resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terkait peta risiko COVID-19 daerah-daerah Indonesia, Selasa (20/4). Data yang dirilis tersebut berlaku per tanggal 18 April 2021.
Dikonfirmasi di ruang kerjanya, Sekretaris Daerah (Sekda) yang juga Sekretaris Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Buleleng Gede Suyasa mengucap rasa syukurnya bahwa zona merah telah turun menjadi zona oranye. Ini berkat upaya dan evaluasi rutin yang dilakukan Satgas dengan komando Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana sebagai Ketua Satgas. Koordinasi juga dilakukan dengan seluruh direktur Rumah Sakit (RS) baik milik pemerintah maupun swasta. Bagaimana untuk bisa membuat skema-skema upaya penanggulangan COVID-19 menuju zona yang lebih baik. “Dalam hal ini dari zona merah kemarinnya ke zona oranye. Sedapat mungkin kedepannya bisa ke zona yang lebih baik,” ucapnya.
Berbagai upaya memang telah dilakukan Satgas Penanganan COVID-19 Buleleng. Dengan upaya tersebut, tingkat keterisian tempat tidur RS di Buleleng sudah mencapai 39,7 persen. Sebelumnya, tingkat keterisian tinggi sehingga Buleleng masuk sebagai daerah zona merah penyebaran COVID-19. Fasilitas pariwisata digunakan sebagai tempat isolasi terpusat untuk pasien berstatus Orang Tanpa Gejala (OTG). Seperti vila di desa dan juga salah satu hotel di wilayah Seririt untuk isolasi terpusat bagi pasien dari kelurahan. Sampai saat ini, di hotel yang disediakan pemerintah tersebut sudah diisi oleh 19 pasien. Sehingga, isolasi mandiri sangat dihindari kecuali yang memang tidak bisa melakukan isolasi terpusat. “Salah satu contoh ada pasien COVID-19 bayi berumur sembilan bulan yang ada di salah satu desa yang harus ditunggu oleh orang tuanya,” ujar Suyasa.
Suyasa pun mengungkapkan upaya untuk menurunkan angka kematian juga dilakukan. Dengan adanya isolasi mandiri di hotel dan vila di desa, RS diingatkan untuk tidak menerima pasien dengan status OTG. Kecuali pasien tersebut mendapat rekomendasi dari Satgas untuk melakukan isolasi di RS. Jika OTG diterima di RS, konsekuensinya adalah tingkat keterisian tempat tidur akan tinggi. Lalu, akan mengganggu fokus tenaga kesehatan (nakes) karena merawat pasien OTG yang semestinya tidak perlu dirawat secara medik sehingga yang mempunyai gejala sedang dan berat tidak tertangani sepenuhnya. “Sehingga sekarang dimana beban nakes fokus kepada yang bergejala sedang dan berat. Secara maksimal bisa dilakukan perawatan. Semoga dengan begitu jumlah kematian tidak tinggi,” ungkapnya.
Penanganan pasien dengan penyakit penyerta atau komorbid termasuk dalam evaluasi. Sampai saat ini, di semua RS, penanganan COVID-19 dan komorbid pada pasien berjalan seimbang. Semua berjalan dengan baik. Bahkan, ada ICCU dengan udara bertekanan negatif. Jadi, pasien COVID-19 yang memerlukan cuci darah tetap berjalan namun petugasnya memakai Alat Pelindung Diri (APD) level tiga. Kemudian untuk komorbid lain juga berjalan didampingi oleh Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) yang bersangkutan. “Sehingga tidak ada pasien yang tidak diberikan pelayanan komorbidnya hanya karena COVID-19. Keduanya tetap berjalan seimbang,” tukas Suyasa. (dra)